Komunitas Baca Tatas Tuhu Trasna

Yang Malas Baca, Gabung Atau Minggir!!!

Rabu, 25 Februari 2009

Kontroversi Ujian Nasional

Oleh : Ade Irawan, Sekretaris Koalisi Pendidikan, Anggota Badan Pekerja ICW) Tulisan ini diambil dari situs antikorupsi.org, 26 Februari 2009

Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya, sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah.

Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.

Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.

Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.

Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.

Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Selain itu, pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik. Kedua, pengawasan.

Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa.

Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.

Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UAN, penyelenggaraannya dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya, peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk menyelenggarakan UAN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.

Sebenarnya, dalam pertemuan dengan Koalisi Pendidikan pada 4 November 2004, Menteri Pendidikan sudah menyatakan ketidaksetujuannya pada UAN dan akan menggantinya dengan ujian masuk pada sekolah-sekolah yang dianggap elite. Apalagi dukungan DPR pun tidak ada. Sebagai bentuk ketidaksetujuannya, Komisi Pendidikan DPR tidak mengalokasikan dana untuk UAN pada tahun 2005. Sayangnya, tiba-tiba Menteri Pendidikan menggulirkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 1 Tahun 2005 sebagai dasar Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan UN. Karena secara substansial tidak ada perbedaan signifikan antara UN tahun ajaran 2004/2005 dan UAN tahun ajaran 2002/2003 dan 2003/2004, perdebatan yang sama terjadi kembali.

[+/-] Selengkapnya...

Diskusi Pergaulan Bebas

Selasa 24 Februarai 09 lalu, Kaca Tastura berdiskusi seru tentang problem remaja yang mengarah pada pergaulan bebas. Eni, siswa SMAN 1 Praya sebagai pembicara merasa sangat khawatir dengan penomena pergaulan bebas banyak remaja. Pada kesempatan itu, dia memaparkan sejumlah data tentang jumlah remaja yang melakukan hubungan sex di luar nikah.

Diskusi yang berlangsung dari jam 4-6 sore di Taman Bundar Praya (depan masjid Jami' Praya_red) berlangsung seru. Rentetan pertanyaan dan tanggapan disampaikan oleh peserta sekaligus anggota Kaca Tastura yang mengikuti diskusi tersebut. Mereka sama-sama sepakat bahwa masa depan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keadaan sebuah remaja (pemuda). Oleh sebab itu, pola pergaulan bebas harus dilawan ungkap mereka semangat.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 17 Februari 2009

Makin SErrruuu....

Suasana diskusi ala Kaca Tastura makin menggairahkan. Tema-tema yang diangkat terkait hal-hal kekinian. Semua peserta diskusi aktif lho...

Yang paling penting, di sini semua harus berani bicara...Berpendapat apapun tidak ada larangan...

Oh ya, kita juga sudah menyusun banyaaaaaaaakkkk program kerja dan realistis, gak asal-asalan...

Wah wah wah.... Duduk di bawah pohon beringin, di pinggir jalan protokol, nambah asyik suasana diskusi kita, bahkan memberikan inspirasi untuk berkarya... buktinya, si Abi yang dari tadi diam, ternyata sedang membuat sebuah puisi.. tuh puisinya, ada di bawah, keren kan...Kita juga kadang bikin debat. Debatnya serrrru Abesssssssss...

Mau ikutan sama Kaca Tastura??? datang aja langsung setiap hari Selasa di Taman Bundar Praya, tepatnya di depan masjid Jami' Praya, jam 4 sore... Siapa aja boleh ikut... yuuuuukkkk....

[+/-] Selengkapnya...

Puisi

Terima Kasih Kaca Tastura
Oleh : M. Zainul Abidin

Di tengah keramaian kota
Di bawah pohon beringin yang rimbun
Jiwa-jiwa bergejolak
Menghempaskan isi diskusi

Kini jiwaku tangguh melawan tantangan
Kini otakku mekar bagai bunga di musim gugur
Terima kasih Kacaku
Terima kasih dengan pengabdianmu

Kau tegakkan inspirasiku
Kau kecil tapi kau tangguh
Dengan ketangguhanmu kau makmurkan dunia ini

Terima kasih Kaca Tasturaku

[+/-] Selengkapnya...

Followers

Kaca Tastura © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO